BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Secara
etimologis sastra atau sastera berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari
akar Cas atau sas dan –tra. Cas dalam
bentuk kata kerja yang diturunkan memiliki arti mengarahkan, mengajar,
memberikan suatu petunjuk ataupun intruksi.[1]
Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa sastra Indonesia ialah sastra berbahasa
Indonesia, sedangkan hasilnya adalah sekian banyak puisi, cerita pendek, novel,
roman, dan naskah drama berbahasa Indonesia. Akan tetapi definisi yang singkat
dan sederhana itu didebat dengan pendapat yang mengatakan bawa sastra Indonesia
adalah keseluruhan sastra yang berkembang di Indonesia selama ini.[2]
Sastra
juga dapat dikatakan menghibur dengan cara menyajkan keindahan, memberikan
makna terhadap kehidupan (kematian, kesengsaraan, maupun kegembiraan), atau
memberikan pelepasan ke dunia imajinasi seperti novel.
Novel
umumnya terdiri dari sejumlah bab yang masing-masing berisi cerita yang berbeda.
Hubungan antar bab, kadang–kadang merupakan hubungan sebab akibat, atau
hubungan kronologis biasa saja, bab yang satu merupakan kelanjutan dari bab
(-bab) yang lain. Jika membaca satu bab novel saja secara acak, kita tidak akan
mendapatkan cerita yang utuh, hanya bagaikan membaca sebuah pragmen saja.[3]
Novel
bersifat realistis, sedang romansa putis dan epik. Hal itu menunjukkan bahwa
novel dan roman berasal dari sumber yang berbeda. Novel berkembang dari bentuk-bentuk
naratif nonfiksi, misalnya surat, biografi, kronik, atau sejarah. Novel lebih
mengacu pada realitas yang lebih tinggi dan psikologi yang lebih mendalam.[4]
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian teori Semiotika ?
2.
Siapa saja tokoh-tokoh teori Semiotika ?
3.
Apa itu Semiotika Strukturalisme ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Teori Semiotika
Semiotik
(semiotics) berasal dari bahasa Yunani “semeion” yang berarti tanda atau sign.
Tanda tersebut menyampaikan suatu informasi sehingga bersifat komunikatif,
mampu menggantikan suatu yang lain (stand for something else) yang dapat
dipikirkan atau dibayangkan (Broadbent, 1980). Semiotik adalah ilmu yang
mempelajari sistem tanda atau teori tentang pemberian tanda.
Istilah
semiotik lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika sedangkan di Eropa lebih banyak
menggunakan sitilah semiologi. Semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan
dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda,
seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi tanda (van Zoest, 1993: 1).
A. Teew (1984: 6) mendefinisikan semiotik adalah tanda sebagai tindak
komunikasi dan kemudian disempurnakan menjadi model sastra yang
mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala
susastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat mana pun.
Bahasa
sebagai sistem tanda seringkali mengandung ‘sesuatu’ yang misterius. Sesuatu
yang terlihat terkadang tidak sesuai dengan realita yang sesungguhnya. Oleh
karena itu, pengguna bahasalah – manusia – yang mempunyai otoritas untuk
melihat dan mencari seperti apa ‘sesuatu’ yang tidak tampak pada bahasa.
Teori
semiotik adalah teori kritikan pascamodern, ia memahami karya sastra melalui
tanda-tanda atau perlambangan yang ditemui di dalam teks. Teori ini berpendapat
bahwa dalam sebuah teks terdapat banyak tanda dan pembaca atau penganalisis
harus memahami apa yang dimaksudkan dengan tanda-tanda tersebut. Hubungan
antara tanda dengan acuan dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
1. Ikon
Ada
kemiripan antara acuan dengan tanda. Tanda merupakan gambar/arti langsung dari
petanda. Misalnya, foto merupakan gambaran langsung yang difoto. Ikon masih
dapat dibedakan atas dua macam, yakni ikon tipologis, kemiripan yang tampak
disini adalah kemiripan rasional. Jadi, didalam tanda tampak juga hubungan
antara unsur-unsur yang diacu, contohnya susunan kata dalam kalimat, dan ikon
metaforis, ikon jenis ini tidak ada kemiripan antara tanda dengan acuannya,
yang mirip bukanlah tanda dengan acuan melainkan antar dua acuan dengan tanda
yang sama. Kata kancil misalnya, mempunyai acuan ‘binatang kancil’ dan
sekaligus ‘kecerdikan’.
2. Indeks
Istilah
indeks berati bahwa antara tanda dan acuannya ada kedekatan ekstensial. Penanda
merupakan akibat dari petanda (hubungan sebab akibat). Misalnya, mendung
merupakan tanda bahwa hari akan hujan, asap menandakan adanya api. Dalam karya
sastra, gambaran suasana muram biasanya merupakan indeks bahwa tokoh sedang
bersusah hati.
3. Simbol
Simbol
yang ada tentunya sudah mendapat persetujuan antara pemakai tanda dengan
acuannya. Misalnya, bahasa merupakan simbol yang paling lengkap, terbentuk
secara konvensional, hubungan kata dengan artinya dan sebagainya. Ada tiga
macam simbol yang dikenal, yakni (1) simbol pribadi, misalnya seseorang
menangis bila mendengar sebuah lagu gembira karena lagu itu telah menjadi
lambang pribadi ketika orang yang dicintainya meninggal dunia, (2) simbol
pemufakatan, misalnya burung Garuda/Pancasila, bintang= keutuhan, padi dan
kapas= keadilan sosial, dan (3) simbol universal, misalnya bunga adalah lambang
cinta, laut adalah lambang kehidupan yang dinamis..[5]
B.
Tokoh-tokoh
Semiotika
Dari sebagian banyak literatur
tentang semiotik mengungkapkan bahwa semiotik bermula dari ilmu linguistik
dengan tokohnya Ferdinand de Saussure. Tidak hanya dikenal sebagai bapak
linguistik, ia juga dikenal sebagai tokoh linguistik modern dalam bukunya
Course in General Linguistics (1916). Selain itu ada tokoh yang penting dalam semiotik
adalah Charles Sanders Peirce (1839-1914), Charles William Morris (1901-1979),
Roland Barthes (1915-1980), Algirdas Greimas (1917-1992), Yuri Lotman
(1922-1993), Christian Metz (1923-1993), Umberto Eco (1932), dan Julia Kristeva
(1941). Dalam ilmu antropologi ada Claude Levi Strauss (1980) dan Jacues Lacan
(1901-1981) dalam psikoanalisis.
a.
Teori
Semiotik Saussure
Menurut
Saussure, bahasa itu merupakan suatu sistem tanda (sign). Tanda adalah kesatuan
dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda
(signified). Penanda adalah aspek material dari bahasa dan petanda adalah
gambaran mental, pikiran atau konsep atau aspek mental dari bahasa. Istilah
form (bentuk) dan content (materi, isi) diistilahkan juga dengan expression dan
content, yang satu berwujud bunyi dan yang lain berwujud idea.
Menurut
Saussure, langue adalah suatu sistem tanda yang mengungkapkan gagasan, dan oleh
karenanya dapat dikomparatifkan dengan tulisan, dengan abjad tuna rungu, ritus
simbolis, bentuk sopan santun, dengan tanda-tanda militer, dan lain-lain
(Hidayat, 2006: 107-108).[6]
b.
Teori
Semiotik Peirce
Menurut
Pierce, manusia dapat berfikir dengan sarana tanda, manusia hanya dapat
berkomunikasi dengan sarana tanda. Semiotika merupakan persamaan dari kata
logika, dan logika harus mempelajari bagaimana orang bernalar. Tanda-tanda
memungkinkan manusia berfikir, berhubungan dengan orang lain dan memberi makna
pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta.
Bagi Pierce, semiotika adalah suatu
tindakan (action), pengaruh (influence) atau kerja sama tiga subjek, yaitu
tanda (sign), objek (object), dan interpretan (interpretant). Pierce membedakan
tiga konsep dasar semiotik, yaitu: 1) semiotik sintaksis yang mempelajari
hubungan antar tanda. Hubungan ini tidak terbatas pada sistem yang sama; 2)
semiotik semantik yang mempelajari hubungan antara tanda, objek, dan
interpretannya. Ketiganya membentuk hubungan dalam melakukan proses semiotis;
3) semiotik pragmatik yang mempelajari hubungan antara tanda, pemakai tanda,
dan pemakaian tanda. Pendekatan yang dilakukan oleh Pierce adalah pendekatan
triadic, karena mencakup tiga hal yakni tanda, hal yang diwakilinya serta
kognisi yang terjadi pada pikiran seseorang pada waktu menangkap tanda
tersebut.[7]
C.
Semiotika
Strukturalisme
Analisis stuktural karya sastra dapat
dilakukan dengan cara mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan
hubungan antar unsur intrinsik fiksi yang bersangkutan. Mula-mula
diidentifikasi dan dideskripsikan, misalnya bagaimana kedaan peristiwa-peristiwa,
plot, tokoh, dan penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain. Setelah itu
dijelaskan bagaimana hubungan antar unsur sehingga masing-masing itu membentuk
totalitas makna yang padu (Nurgiyantoro, 2002:31). Dengan demikian, analisis
struktural tidak cukup dilakukan dengan sekedar mendeskripsikan unsur tertentu
seperti peristiwa, alur, latar, dan tokoh. Analisis struktural merupakan
prioritas pertama sebelum diterapkannya analisis yang lain.[8]
Strukturalis
mencoba mendeskripsikan sistem tanda sebagai bahasa-bahasa. Alisme Strauss
dengan Mith dalam teori kinship dan totemisme, Lacan dengan unconcious, Barthes
dan Greimas dengan grammer of narrative. Mereka bekerja mencari struktur dalam
(deep structure) dari bentuk struktur luar (surface structure) sebuah fenomena.
Strukturalisme dan semiotik dinamakan oleh Ferdinand de Saussure dengan
semiologi (Hoed, 2002: 1).[9]
Strukturalisme adalah satu aliran
filsafat yang muncul di Prancis. Istilah “strukturalisme” sering membingunkan
berbagai kalangan. Hal ini disebabkan istilah “struktur” sendiri bnayak
digunakan dalam berbagai bidang tau disiplin begitu juga dengan istilah
strukturalisme. Istilah strukturalisme tidak hanya digunakan dalam bidang
kesusastraan, tetapi juga dalam bidang-bidang yang lain, seperti biologi,
psikologi, sejarah, filsafat, bahasa linguistic , dan disiplin ilmu-ilmu yang
lainnya.[10]
Pengertian
lain strukturalisme adalah suatu cara berfikir yang memandang seluruh realitas
sebagai keseluruhan yang terdiri dari struktur-struktur yang saling berkaitan,
atau dengan kata lain, strukturalisme adalah salah satu cara pandang yang
menekankan pada persepsi dan deskripsi tentang struktur yang mencakup keutuhan,
transformasi, dan pengaturan diri (Hidayat, 2006: 101-102).
Fokus
utama strukturalis adalah bahwa alam dunia dapat dipahami selama kita mampu
mengungkap adanya struktur yang menjamin keteraturan, atau pola sistematika
benda, kejadian, kata-kata, dan fenomena. Strukturalisme adalah teori yang
menyatakan bahwa seluruh organisasi manusia ditentukan secara luas oleh
struktur sosial atau psikologi yang mempunyai logika independen yang menarik,
berkaitan dengan maksud, keinginan, maupun tujuan manusia. Bagi Freud, mungkin
struktur itu adalah psyche (psikis), bagi Marx, struktur itu adalah economy, dan
bagi Saussure, struktur itu adalah language (bahasa).
Strukturalisme
berkembang sejak Levy Strauss mengungkapkan bahwa hubungan antara bahasa dan
mitos menjadi posisi sentral. Pemikiran primitif menampakkan dirinya dalam
struktur-struktur mitosnya sebanyak struktur bahasanya. Menurutnya, mitos
memiliki hubungan dengan bahasa karena merupakan suatu bentuk pengucapan
manusia sehingga analisisnya bisa diperluas ke bidang linguistik struktural.
Sebuah mitos, secara individual melahirkan parole yang memberikan kontribusi
terhadap struktur.
Sedikitnya, ada lima pandangan Saussure yang
kemudian menjadi peletak dasar strukturalisme, yaitu:
1.)
signifier (penanda) dan signified (petanda);
2.)
form (bentuk) dan content (isi);
3.)
langue (bahasa) dan parole (tuturan, ujaran);
4.)
synchronic (sinkronik) dan diachronic (diakronik); serta
5.)
syntagmatic (sintagmatik) dan associative (paradigmatik) (Sobur, 2004: 46).
Menurut
Saussure, bahasa itu merupakan suatu sistem tanda (sign). Tanda adalah kesatuan
dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda
(signified). Penanda adalah aspek material dari bahasa dan petanda adalah
gambaran mental, pikiran atau konsep atau aspek mental dari bahasa. Istilah
form (bentuk) dan content (materi, isi) diistilahkan juga dengan expression dan
content, yang satu berwujud bunyi dan yang lain berwujud idea.[11]
Langange
adalah suatu kemampuan bahasa yang ada pada setiap manusia yang bersifat
pembawaan. Ia merujuk pada suatu fenomena bahasa secara umum, artinya langange
memiliki segi individual dan segi sosial sehingga lahirlah dari langange itu
dua aspek, yaitu langue dan parole. Singkatnya, langange adalah bahasa pada
umumnya. Aminuddin (2003: 40) mengatakan bahwa langange merupakan wujud dari pengelompokan
parole yang nantinya akan menimbulkan dialek maupun register.
Langue
adalah totalitas dari kumpulan fakta suatu bahasa yang ada pada setiap orang.
Langue adalah sesuatu yang berkadar individual tapi juga sosial universal.
Menurut Saussure, langue ini ada dalam benak orang, bukan hanya
absraksi-abstraksi. Suatu masyarakat bahasa secara konvensional dan manasuka
menyetujui satu totalitas aturan dalam berbahasa dan mereka mengerti dengan
totalitas ini. Karena sifatnya pembawaan setiap manusia, maka langue itu
abstrak dan tertentu pada suatu bahasa. Sebagai contoh, semua orang Indonesia
memiliki langue bahasa Indonesia, tetapi jika orang Indonesia mempelajari
bahasa Inggris maka langue mereka pun akan bertambah, yaitu langue bahasa
Inggris (Alwasilah, 1993: 78)
Parole
adalah wujud bahasa yang digunakan anggota masyarakat bahasa itu dalam
pemakaian (Aminuddin, 2003: 40). Selain itu parole adalah ujaran atau ucapan
seseorang, yaitu apa yang diucapkan dan apa yang didengar oleh pihak penanggap
ujaran.
Yang
dimaksud dengan sinkronik adalah deskripsi tentang ‘keadaan tertentu bahasa
tersebut pada suatu masa’. Sinkronik mempelajari bahasa tanpa mempersoalkan
urutan waktu, sinkronik bersifat horizontal. Misalnya menyelidiki pengguna
bahasa Arab pada zaman Jahiliyah.
Sedangkan
yang dimaksud dengan diakronis adalah ‘menelusuri waktu’ (Bertens, 2001: 184).
Diakronis adalah deskripsi tentang perkembangan sejarah bahasa. Contohnya studi
diakronis bahasa Arab mungkin mengalami perkembangan di masa catatan awal sampai
sekarang ini. Atau diakronis adalah disiplin linguistik yang mempelajari bahas
dari masa ke masa. Studi ini bersifat vertikal.[12]
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Dari
pembahasan diatas dapat disimpulakan bahwa semiotik merupakan ilmu atau metode analisis untuk mengkaji
sebuah tanda yang memiliki makna. Tanda-tanda tersebut dapat berupa pengalaman,
pikiran, perasaan, gagasan yang dapat dilengkapi kehidupan ini, walaupun
dikatakan bahwa bahasa adalah sistem tanda yang paling lengkap dan sempurna.
Ilmu semiotik dalam karya sastra berupa novel biasanya menggunakan simbol.
Semiotik menjadi satu istilah untuk kajian sastra yang berisi lambang-lambang
atau kode-kode yang mempunyai arti atau makna tertentu. Arti atau makna itu
berkaitan dengan sistem yang dianut.
Semiotik digunakan untuk memeberikan
makna kepada tanda-tanda sesudah penelitian struktural. Sedangkan, strukturalisme
adalah suatu cara berfikir yang memandang seluruh realitas sebagai keseluruhan
yang terdiri dari struktur-struktur yang saling berkaitan, atau dengan kata
lain.
B.
Saran
Saran untuk
mahasiswa, agar dapat melakukan pengkajian terhadap novel dengan menggunakan
kajian Semiotika dan Strukturalisme. Semoga dengan adanya pembahasan diatas
dapat membantu pengkajian tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Budiman, Kris. Jejaring Tanda-Tanda Strukturalisme dan
Semiotik. Magelang: Indonesia Tera. 2004.
Junus, Umar. Pengantar Strukturalisme. Malaysia:
Dewan Bahasa dan Pustaka. 1988.
K.S, Yudiono. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia.
Jakarta: Grasindo. 2007.
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press. 2005.
Susanto, Dwi. Pengantar Teori Sastra. Yogyakarta:
Caps. 2012.
[1]
Dwi Susanto, Pengantar Teori Sastra,
(Yogyakarta: Caps, 2012), hal. 1.
[2]
Yudiono K.S, Pengantar Sejarah Sastra
Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2007), hal.11.
[3]
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian
Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005) h. 14.
[4]
Ibid, h. 15.
[6]
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian
Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005) h. 43.
[7]
Ibid, h.41.
[8]
Kris Budiman, Jejaring Tanda-Tanda
Strukturalisme dan Semiotik, (Magelang: Indonesia Tera, 2004), h.93.
[9]
Umar Junus, Pengantar Strukturalisme,
(Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1998), h. 111
[10]
Dwi Susanto, Pengantar Teori Sastra,
(Yogyakarta: Caps, 2012), hal. 88.
[11]
Ibid, h. 94.
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking