07 Jun. 2013

telaah puisi "Chairil Anwar"



BAB I
PENDAHULUAN


1.1.      Latar Belakang

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sastra Indonesia ialah sastra berbahasa Indonesia, sedangkan hasilnya adalah sekian banyak puisi, cerita pendek, novel, roman, dan naskah drama berbahasa Indonesia. Akan tetapi definisi yang singkat dan sederhana itu didebat dengan pendapat yang mengatakan bawa sastra Indonesia adalah keseluruhan sastra yang berkembang di Indonesia selama ini.[1]

Karya sastra sebagai hasil cipta manusia selain memberikan hiburan juga sarat dengan nilai, baik nilai keindahan maupun nilai- nilai ajaran hidup. Orang dapat mengetahui nilai- nilai hidup, susunan adat istiadat, suatu keyakinan, dan pandangan hidup orang lain atau masyarakat melalui karya sastra. Dengan hadirnya karya sastra yang membicarakan persoalan manusia, antara karya sastra dengan manusia memiliki hubungan yang tidak terpisahkan. Sastra dengan segala ekspresinya merupakan pencerminan dari kehidupan manusia. Adapun permasalahan manusia merupakan ilham bagi pengarang untuk mengungkapkan dirinya dengan media karya sastra. Hal ini dapat dikatakan bahwa tanpa kehadiran manusia, sastra mungkin tidak ada.[2]

Sastra juga dapat dikatakan menghibur dengan cara menyajkan keindahan, memberikan makna terhadap kehidupan (kematian, kesengsaraan, maupun kegembiraan), atau memberikan pelepasan ke dunia imajinasi seperti puisi. Puisi adalah karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias (imajinatif). Kata-kata betul-betul terpilih agar memiliki kekuatan dalam pengucapan.[3]

Puisi juga disebut bentuk karya sastra yang menggunakan kata-kata indah dan kaya makna. Keindahan sebuah puisi disebabkan oleh diksi, majas, irama, dan irama yang terkandung dalam karya sastra itu. Adapun kekayaan makna yang terkandung dalam puisi disebabkan oleh pemadatan segala unsur bahasa. Bahasa yang digunakan dalam puisi berbeda dengan yang digunakan sehari-hari. Puisi menggunakan bahasa yang ringkas, namun maknanya sangat kaya. Kata-kata yang digunakannya adalah kata-kata konotatif yang mengandung banyak penafsiran dan pengertian.[4]


1.2.Rumusan Masalah
1.      Bagaimana biografi Chairil Anwar ?
2.      Apa saja puisi-puisi Chairil Anwar ?













BAB II
PEMBAHASAN


2.1.      Biografi  sigkat Chairil Anwar

Chairil Anwar, lahir 26 Juli 1922 di Medan, meninggal 28 April 1949 di Jakarta. Berpendidikan MULO (tidak tamat). Pernah menjadi redaktur “Gelanggang” (ruang kebudayaan Siasat, 1948-49) dan redaktur Gema Suasana (1949). Kumpuln sajaknya: Deru Campur Debu (1949) Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949), dan Tiga Menguak Takdir (bersama Rivai Apiin + Asrul Sani, 1950). Sajak-sajaknya yang lain, sajak-sajak terjemahannya, serta sejumlah prosanya dihimpun H.B. Jassin dalam buku Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 (1956). Selain menulis sajak, Chairil juga menerjemahkan. Diantara terjemahannya: Pulanglah Dia si Anak Hilang (karya Andre Gide, 1948) dan Kena Gempur (karya John Steinbeck, 1951).
Sajak-sajak Chairil banyak diterjemahkan ke bahasa Inggris. Di antaranya terjemaha  Burton Raffel, Selected Poems (of) Chairil Anwar (1962) dan The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar (1970), Liauw Yock Fang (dengan bantuan H.B Jassin), The Complete Poms of Chairil Anwar (1974); sedangkan ke dalam bahasa Jerman diterjemahkan oleh Walter Karwath, Feuer und Asche (1978). Chairil Anwar lazim disebut sebagai pelopor “Angkatan 45” dalam sastra Indonesia.[5]
Pada usia sembilan belas tahun, setelah perceraian orang-tuanya, Chairil pindah dengan ibunya ke Jakarta di mana dia berkenalan dengan dunia sastra. Meskipun pendidikannya tak selesai, Chairil menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda dan bahasa Jerman, dan dia mengisi jam-jamnya dengan membaca karya-karya pengarang internasional ternama, seperti: Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du Perron. Penulis-penulis ini sangat mempengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung mempengaruhi puisi tatanan kesusasteraan Indonesia.
Semasa kecil di Medan, Chairil sangat dekat dengan neneknya. Keakraban ini begitu memberi kesan kepada hidup Chairil. Dalam hidupnya yang amat jarang berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia. Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang luar biasa pedih:

“Bukan kematian benar yang menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertahta”
Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling Chairil puja. Dia bahkan terbiasa menyebut nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya.
Sejak kecil, semangat Chairil terkenal kedegilannya. Seorang teman dekatnya Sjamsul Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya. Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam.[6]

2.2. Puisi-puisi Chairil Anwar

Dalam pembahasan makalah ini kami akan membahas beberapa puisi dari Chairil Anwar yang cukup terkenal sebagai berikut :

Aku

Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

Maret 1943

Dalam bait pertama “kalau sampai waktuku” Si “aku” membuang semua kekhawatirannya tentang suatu kematian. Dia tidak lagi perduli kepada siapa saja yang yang merayunya. Tidak juga kekasinya. Dalam bait kedua  Si “aku” memesankan kepada orang-orang terdekatnya supaya supaya melepasnya, jika saatnya telah tiba menghadap sang khalik. Bahkan dia menyebt-nyebut dirinya sebagai binatang jalang, Sebuah simbol kehinaan. Sedangkan bait ketiga  Si “aku” berterus terang tentang apa yang telah di deritanya, tapi dia tetap mencoba untuk menanggungnya sendiri. Karena jika saatnya tiba, semua perih akan hilang. Dan pada bait terakhir  Si “aku” ingin hidup seribu tahun lagi. Di sini Chairil telah menjelma si “aku”. Walaupun raganya telah tiada, tapi dia ingin karyanya tetap hidupselamanya.
Senja di Pelabuhan Kecil. Bukan hanya puisi-puisi perjuangan saja yang sangat populer dari hasil karya Chairil Anwar, tetapi puisi cinta yang diciptakan beliau juga tidak kalah populernya serta romantis. Seperti puisi cinta yang di dedikasikan untuk seorang wanita yang bernama Sri Ajati yang berjudul “Senja di Pelabuhan Kecil” ini yang menggambarkan keromantisan sosok Chairil Anwar.
Senja di Pelabuhan Kecil Karya Chairil Anwar
buat: Sri Ajati
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
1946
KRAWANG-BEKASI

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
(1948)
Karawang-Bekasi, sebuah puisi yang memiliki tempat tersendiri bagi masyarakat sekitar Karawang sampai Bekasi. Puisi yang menggambarkan bagaimana beratnya mempertahankan kemerdekaan yang diproklamirkan oleh kedua Bung besar kita, Bung Karno dan Bung Hatta pada 17 Agustus 1945.

 Puisi itu adalah bukti nyata bagaimana pedihnya kesedihan yang dirasakan oleh para anggota keluarga yang ditinggalkan sekaligus juga bukti nyata bagi kesadisan perang yang dilakukan oleh tentara NICA Belanda.[7]




BAB III
PENUTUP

3.1. Simpulan
Gaya bersajak dan elan vital dalam puisi-puisi chairil anwar  yang bercorak individualistis dan mem-Barat membedakannya dengan kecenderungan puisi-puisi yang dilahirkan generasi sebelumnya (baca: Poedjangga Baroe).
Bukan secara kebetulan agaknya jika sajak-sajak Chairil memiliki
nuansa individualistis yang kental. Pergumulan total Chairil dengan kesenian agaknya telah menuntun sang penyair terjerembab dalam sebuah ritus pencarian filosofis.
Semacam tertuntun pada sebuah kredo bahwa di dalam kesenian, berfilsafat menjadi keniscayaan yang menusuk. Terutama karena berkesenian mengharuskan sang seniman berhadapan dengan problem-problem tentang ketuhanan, kebebasan, dan apa saja.











DAFTAR PUSTAKA


Anwar, chairil. Aku Bukan Binatang Jalang. Jakarta:PT.Gramedia Pustaka Utama. 1986.
Budianta, Melani dkk. Membaca Sastra. Magelang: Indonesia Tera. 2003.

Kosasish.E. Dasar-dasar Keterampilan Sastra. Bandung: Yrama Widya. 2012

K.S, Yudiono. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: PT. Grasindo.
2007.

Teeuw, A. Sastera Dan Ilmu Sastera. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya. 2003.





[1] Yudiono K.S. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia, (Jakarta: PT Grasindo, 2007), h.11

[2] A. Teeuw, Sastra Indonesia Modern II, (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1989) h.99
[3] Melani Budianta, dkk. Membaca Sastra, (Magelang: Indonesia Tera, 2003), h. 19
[4] E. Kosasih, Dasar-dasar Keterampilan Sastra, (Bandung: Yrama Widya, 2012), h.97
[5] Chairil Anwar,”Aku Bukan Binatang Jalang” PT.GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA (Jakarta,1986) h.111
[6] http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/02/biografi-chairil-anwar-1922-1949.html