BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa sastra Indonesia ialah sastra berbahasa Indonesia, sedangkan
hasilnya adalah sekian banyak puisi, cerita pendek, novel, roman, dan naskah
drama berbahasa Indonesia. Akan tetapi definisi yang singkat dan sederhana itu
didebat dengan pendapat yang mengatakan bawa sastra Indonesia adalah
keseluruhan sastra yang berkembang di Indonesia selama ini.[1]
Karya sastra
sebagai hasil cipta manusia selain memberikan hiburan juga sarat dengan nilai,
baik nilai keindahan maupun nilai- nilai ajaran hidup. Orang dapat mengetahui
nilai- nilai hidup, susunan adat istiadat, suatu keyakinan, dan pandangan hidup
orang lain atau masyarakat melalui karya sastra. Dengan hadirnya karya sastra
yang membicarakan persoalan manusia, antara karya sastra dengan manusia
memiliki hubungan yang tidak terpisahkan. Sastra dengan segala ekspresinya
merupakan pencerminan dari kehidupan manusia. Adapun permasalahan manusia
merupakan ilham bagi pengarang untuk mengungkapkan dirinya dengan media karya
sastra. Hal ini dapat dikatakan bahwa tanpa kehadiran manusia, sastra mungkin
tidak ada.[2]
Sastra juga dapat
dikatakan menghibur dengan cara menyajkan keindahan, memberikan makna terhadap
kehidupan (kematian, kesengsaraan, maupun kegembiraan), atau memberikan
pelepasan ke dunia imajinasi seperti puisi. Puisi adalah karya sastra dengan
bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu
dan pemilihan kata-kata kias (imajinatif). Kata-kata betul-betul terpilih agar
memiliki kekuatan dalam pengucapan.[3]
Puisi juga disebut
bentuk karya sastra yang menggunakan kata-kata indah dan kaya makna. Keindahan
sebuah puisi disebabkan oleh diksi, majas, irama, dan irama yang terkandung
dalam karya sastra itu. Adapun kekayaan makna yang terkandung dalam puisi
disebabkan oleh pemadatan segala unsur bahasa. Bahasa yang digunakan dalam puisi
berbeda dengan yang digunakan sehari-hari. Puisi menggunakan bahasa yang
ringkas, namun maknanya sangat kaya. Kata-kata yang digunakannya adalah
kata-kata konotatif yang mengandung banyak penafsiran dan pengertian.[4]
1.2.Rumusan
Masalah
1. Bagaimana biografi Chairil Anwar ?
2.
Apa saja
puisi-puisi Chairil Anwar ?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.
Biografi sigkat
Chairil Anwar
Chairil Anwar,
lahir 26 Juli 1922 di Medan, meninggal 28 April 1949 di Jakarta. Berpendidikan
MULO (tidak tamat). Pernah menjadi redaktur “Gelanggang” (ruang kebudayaan Siasat, 1948-49) dan redaktur Gema Suasana (1949). Kumpuln sajaknya: Deru Campur Debu (1949) Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan
Yang Putus (1949), dan Tiga Menguak
Takdir (bersama Rivai Apiin + Asrul Sani, 1950). Sajak-sajaknya yang lain,
sajak-sajak terjemahannya, serta sejumlah prosanya dihimpun H.B. Jassin dalam
buku Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45
(1956). Selain menulis sajak, Chairil juga menerjemahkan. Diantara terjemahannya:
Pulanglah Dia si Anak Hilang (karya Andre Gide, 1948) dan Kena Gempur (karya John Steinbeck,
1951).
Sajak-sajak
Chairil banyak diterjemahkan ke bahasa Inggris. Di antaranya terjemaha Burton Raffel, Selected Poems (of) Chairil Anwar (1962) dan The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar (1970), Liauw Yock Fang (dengan bantuan H.B
Jassin), The Complete Poms of Chairil
Anwar (1974); sedangkan ke dalam
bahasa Jerman diterjemahkan oleh Walter Karwath, Feuer und Asche (1978). Chairil Anwar lazim disebut sebagai pelopor
“Angkatan 45” dalam sastra Indonesia.[5]
Pada usia sembilan belas tahun, setelah perceraian
orang-tuanya, Chairil pindah dengan ibunya ke Jakarta di mana dia berkenalan
dengan dunia sastra. Meskipun pendidikannya tak selesai, Chairil menguasai
bahasa Inggris, bahasa Belanda dan bahasa Jerman, dan dia mengisi jam-jamnya
dengan membaca karya-karya pengarang internasional ternama, seperti: Rainer M.
Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du
Perron. Penulis-penulis ini sangat mempengaruhi tulisannya dan secara tidak
langsung mempengaruhi puisi tatanan kesusasteraan Indonesia.
Semasa kecil di Medan, Chairil sangat dekat dengan neneknya.
Keakraban ini begitu memberi kesan kepada hidup Chairil. Dalam hidupnya yang
amat jarang berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya
meninggal dunia. Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang luar biasa
pedih:
“Bukan
kematian benar yang menusuk kalbu
Keridlaanmu
menerima segala tiba
Tak
kutahu setinggi itu atas debu
Dan
duka maha tuan bertahta”
Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling Chairil
puja. Dia bahkan terbiasa menyebut nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu,
sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan ibunya, Chairil acapkali kehilangan
sisinya yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada
ibunya.
Sejak kecil, semangat Chairil terkenal kedegilannya. Seorang
teman dekatnya Sjamsul Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang
kehidupan Chairil Anwar ketika semasa kecil. Menurut dia, salah satu sifat
Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah
dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya. Keinginan
dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu
meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam.[6]
2.2. Puisi-puisi Chairil Anwar
Dalam pembahasan
makalah ini kami akan membahas beberapa puisi dari Chairil Anwar yang cukup
terkenal sebagai berikut :
Aku
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Maret 1943
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Maret 1943
Dalam bait pertama
“kalau sampai waktuku” Si “aku” membuang semua kekhawatirannya tentang suatu
kematian. Dia tidak lagi perduli kepada siapa saja yang yang merayunya. Tidak
juga kekasinya. Dalam bait kedua Si
“aku” memesankan kepada orang-orang terdekatnya supaya supaya melepasnya, jika
saatnya telah tiba menghadap sang khalik. Bahkan dia menyebt-nyebut dirinya
sebagai binatang jalang, Sebuah simbol kehinaan. Sedangkan bait ketiga Si “aku” berterus terang tentang apa yang
telah di deritanya, tapi dia tetap mencoba untuk menanggungnya sendiri. Karena
jika saatnya tiba, semua perih akan hilang. Dan pada bait terakhir Si “aku” ingin hidup seribu tahun lagi. Di
sini Chairil telah menjelma si “aku”. Walaupun raganya telah tiada, tapi dia
ingin karyanya tetap hidupselamanya.
Senja di Pelabuhan Kecil. Bukan hanya puisi-puisi
perjuangan saja yang sangat populer dari hasil karya Chairil Anwar, tetapi
puisi cinta yang diciptakan beliau juga tidak kalah populernya serta romantis.
Seperti puisi cinta yang di dedikasikan untuk seorang wanita yang bernama Sri
Ajati yang berjudul “Senja di Pelabuhan Kecil” ini yang menggambarkan
keromantisan sosok Chairil Anwar.
Senja di Pelabuhan Kecil Karya
Chairil Anwar
buat:
Sri Ajati
Ini kali
tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis
mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada
lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
1946
KRAWANG-BEKASI
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan
kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
(1948)
Karawang-Bekasi,
sebuah puisi yang memiliki tempat tersendiri bagi masyarakat sekitar Karawang
sampai Bekasi. Puisi yang menggambarkan bagaimana beratnya mempertahankan
kemerdekaan yang diproklamirkan oleh kedua Bung besar kita, Bung Karno dan Bung
Hatta pada 17 Agustus 1945.
Puisi itu adalah bukti nyata bagaimana
pedihnya kesedihan yang dirasakan oleh para anggota keluarga yang ditinggalkan
sekaligus juga bukti nyata bagi kesadisan perang yang dilakukan oleh tentara
NICA Belanda.[7]
BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan
Gaya bersajak dan elan vital dalam puisi-puisi chairil anwar
yang bercorak individualistis dan
mem-Barat membedakannya dengan kecenderungan puisi-puisi yang dilahirkan
generasi sebelumnya (baca: Poedjangga Baroe).
Bukan secara kebetulan agaknya jika sajak-sajak Chairil memiliki
nuansa individualistis yang kental. Pergumulan total Chairil dengan kesenian agaknya telah menuntun sang penyair terjerembab dalam sebuah ritus pencarian filosofis.
nuansa individualistis yang kental. Pergumulan total Chairil dengan kesenian agaknya telah menuntun sang penyair terjerembab dalam sebuah ritus pencarian filosofis.
Semacam tertuntun pada sebuah kredo bahwa di dalam kesenian,
berfilsafat menjadi keniscayaan yang menusuk. Terutama karena berkesenian
mengharuskan sang seniman berhadapan dengan problem-problem tentang ketuhanan,
kebebasan, dan apa saja.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, chairil. Aku Bukan Binatang Jalang. Jakarta:PT.Gramedia Pustaka Utama. 1986.
Budianta, Melani dkk. Membaca Sastra. Magelang: Indonesia
Tera. 2003.
Kosasish.E. Dasar-dasar Keterampilan Sastra.
Bandung: Yrama Widya. 2012
K.S, Yudiono. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: PT. Grasindo.
2007.
Teeuw,
A. Sastera Dan Ilmu Sastera. Jakarta:
PT. Dunia Pustaka Jaya. 2003.
http://contry.wordpress.com/mengenang-karawang-bekasi/.
Diakses pada 12 Juni 2011
http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/02/biografi-chairil-anwar-1922-1949.html.
Diakses pada 28 nopember 2012
[1]
Yudiono K.S. Pengantar Sejarah Sastra
Indonesia, (Jakarta: PT Grasindo, 2007), h.11
[2] A.
Teeuw, Sastra Indonesia Modern II, (Jakarta:
PT. Dunia Pustaka Jaya, 1989) h.99
[3]
Melani Budianta, dkk. Membaca Sastra,
(Magelang: Indonesia Tera, 2003), h. 19
[4] E.
Kosasih, Dasar-dasar Keterampilan Sastra,
(Bandung: Yrama Widya, 2012), h.97
[5]
Chairil Anwar,”Aku Bukan Binatang Jalang” PT.GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA
(Jakarta,1986) h.111
[6] http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/02/biografi-chairil-anwar-1922-1949.html